BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak zaman
dahulu perkawinan merupakan sesuatu yang selalu dilaksanakan dalam masyarakat
yang ada, bukan hanya di masyarakat Yahudi saja tetapi juga hal ini dilakukan
bangsa-bangsa masyarakat di luar bangsa Yahudi.
Pernikahan
adalah tahap kehidupan, yang didalamnya laki-laki dan perempuan boleh hidup
bersama-sama dan menikmati seksual secara sah. Perzinahan dan persundalan
adalah hubungan seksual yang tidak diakui oleh masyarakat sebagai suatu konstitusi
pernikahan. Definisi ini memperlihatkan bahwa poligami dalam PL tidak dianggap
salah, karena merupakan konstitusi pernikahan yang sah diakui oleh masyarakat,
walaupun umumnya terbukti tidak bijaksana.[1]
Di dalam Perjanjian Lama, secara khususnya di dalam kejadian.
Sejak awal penciptaan manusia Allah sendiri telah membentuk suatu konstitusi
yaitu suatu pernikahan antara Adam dan Hawa, dimana pernikahan tersebut di
bentuk dan diperintahkan oleh Allah agar mereka menjalin hubungan yang erat dan
sah dalam suatu ikatan perkawinan agar mereka menjalankan kehidupan baru secara
bersama-sama dalam sebuah keluarga. UU Perkawinan RI 1974 bab 1, pasal 1
menjelaskan bahwa “perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah
Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga
dapat dilihat dengan jelas bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang sangat baik
dan memiliki tujuan yang baik pula untuk mencapai suatu kebahagiaan.
Rumusan
masalah
Melihat
latar belakang yang ada, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut.?
1. Apa dasar perkawinan menurut PL.?
2. Bagaimana caranya membangun keluarga menurut PL.?
3. Bagaimana relevansinya bagi umat Kristen saat ini.?
Maksud
dan Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dasar Perkawinan menurut Perjanjian
Lama.
2. Untuk mengetahui langkah-langkah atau aturan dalam
membangun hubungan keluarga menurut Perjanjian Lama.
3. Untuk menentukan sikap yang seharusnya dilakukan orang
percaya dalam membangun kehidupan keluarga.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pernikahan dan Keluarga
Perkawinan
merupakan suatu hal yang berhubungan dengan pernikahan. Sedangkan keluarga
berarti orang-orang yang menghuni suatu ruah, seisi rumah; bapak ibu berserta
anaknya; satuan kekerabatan yang mendasar dalam masyarakat.[2]
Istilah nikah
merupakan suatu perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami atau
bersistri secara sah. Sedangkan pernikahan lebih menekankan makna hal perbuatan
nikah dan upacaranya. Dalam perjanjian Lama secara khusus banyak dibicarakan
mengenai pernikahan terutama Monogami
dan Poligami. Mono dari kata Yunanai yang berarti satu, Poli berarti banyak sedangkan gamos
memiliki arti ‘nikah’. Sehingga pada bagian ini penulis akan membahas dasar
pernikahan Kristen menurut Perjanjian Lama (Pentateukh).[3]
Menurut etika
Kristiani pernikahan berarti Internalisasi nilai-nilai Kristiani berdasarkan
Alkitab dan tradisi Kristen tentang makna pernikahan. Tradisi Kristen yang
dimaksudkan yaitu paham yang dimiliki oleh Protestan tentang perkawinan, bukan
sebagai sakramen tetapi merupakan suatu ikatan rohaniah yang begitu erat antara
pria dan wanita yang telah menjalin hubungan pernikahan.
Hakekat
Pernikahan
Pernikahan
merupakan persekutuan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, menurut tata
penciptaan (Kej. 1:27; 2:22; 2:24-25). Pernikahan Kristen adalah sesuatu yang
‘suci’ karena:
Pernikahan
Kristen menganut asas monogami; Pernikahan
menolak perkawinan homoseksual/lesbian karena bukan pernikahan yang Allah
kehendaki, homosksual bekaitan dengan penyembahan berhala (Ul. 23:17-18); Pernikahan
merupakan sesuatu yang suci sehingga tidak boleh dinodai oleh hubungan seksua
dengan orang yang bukan pasangan suami/istri.
Tujuan Pernikahan
Pernikahan
mempunyai tujuannya sendiri dan tujuan itu haruslah diperhatikan supaya orang
tidak menikah hanya untuk memenuhi kebutuhan atau kewajiban kodrat/hukum alam
saja, melainkan supaya menikah karena kasih karunia Allah, dengan kata lain
untuk mencapai suatu kebahagiaan. Secara Teologis ‘kebahagiaan’ dipahami
sebagai ‘syalom’ dimana terdapat kesejahteraan rohani, kedamaian, keharmonisan,
dan cinta kasih; seperti yang terdapat dalam Mazmur 128, suatu kebahagiaan
haruslah dimulai dengan sikap Takut akan Tuhan. Sehingga dilihat dari sisi
Teologis ada 3 hal yang menjadi tujuan pernikahan, yaitu:
1) Propogasi/prokreasi
(kej. 1:28). Seorang yang menikah haruslah menyadari bahwa mereka mengemban
tugas suci untuk melanjutkan karya Allah dala menciptakan generasi penerus;
2) Unifikasi/kesatuan
(Kej. 2:24). “kesatuan daging adalah kesatuan jiwa raga”. Unifikasi bukan hanya
berhubungan dengan seks, tetapi menyatunya kedua insan secara eksklusif dalam
segala hal. Kesatuan tersebut adalah kesatuan yang tidak menyimpan rahasia
terhadap pasangan hidup masing-masing. Didalam kesatua pasangan diharapkan
dapat menjadi dewasa karena mampu mencintai serta dicintai.
3) Rekreasi/kesenangan
(Ams. 5:18-19). Hubungan seksual merupakan hal yang penting, karena menjadi
wujud dari kesatuan dan juga merupakan tugas prokreasi. Kesenangan tersebut
harus diletakkan dalam hubungan batin/rohani, dimana satu terhadap yang lain
saling percaya, saling bergantung dan saling menolong.[4]
Keluarga
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam memahami tentan suatu kesatuan yang disebut sebagai keluarga yaitu:
1) Hubungan
suami istri
Perubahan atau
penikatan hubungan suami istri dapat menimbulkan persoalan: masalah seksual,
masalah kesehatan serta kebutuhan keluarga.
2) Hubungan
orang tua dan anak
Perhatian
merupakan kebutuhan anak-anak yang paling primer (bukan materi). Sehingga perlu
diketahui bahwa pendidikan utama terjadi dalam suatu ruang lingkup sederhana
yaitu keluarga (Rumah Tangga), yang harus diwujudkan dalam bentuk kasih sayang,
pelayanan dan perhatian kepada anak-anak.
3) Kesejahteraan
keluarga
Hal ini merupakan
hal yang sangat penting. Kesejahteraan mencakup semua segi kehidupan dan
menyangkut kualitas kehidupan keluarga. Kesejahteraan sangat tergantung pada
sikap dalam mengelola kehidupan Rumah Tangga (Ams. 17:1).[5]
4) Kehidupan
sosial dan kehidupan rohani keluarga
Keluarga menjadi
bagian terkecil dalam masyarakat. Oleh sebab itu, tidak mungkin keluarga
menjadi eksklusif. Dalam kehidupan sosial, keluarga yang sehat adalah keluarga
yang aktif dalam bermasyarakat. Demikian juga halnya dalam rangka pembinaan
kehidupan rohani, keluarga haruslah aktif supaya ada penguatan kerohanian.
Pernikahan dan membangun keluarga menurut Perjanjian Lama
Kejadian
2:24 menjelaskan bagaimana proses atau tata cara dalam membangun hubungan
pernikahan dan keluarga. Sehingga melalui ayat tersebut ada tiga aspek yang
sangat perlu untuk diperhatikan, yaitu:
1. Meninggalkan
orang tua
Aspek ini
mengandung arti bahwa:
a)
Adanya kesediaan orang tua melepaskan anaknya agar
bersatu dengan dengan suami/istrinya. Dalam artian bahwa orang tua melepaskan
anaknya agar mereka mengurus rumah tangga mereka sendiri.
b)
Adanya kesanggupan seorang anak untuk meninggalkan
orang tuanya. Ketika memutuskan untuk menikah seseorang harus mampu berkomitmen
untuk melepaskan ketergantungan mereka dari orang tuanya.
c)
Haruslah diberkati dan disahkan secara hukum. Artinya
bahwa mereka harus mensahkan pernikahan mereka secara hukum (Negara) dan adat. Dengan adanya pengakuan secara hukum maka
suami, istri dan anak-anaknya dilindungi secara undang dan juga pasangan tidak
dapat bertindak secara semena-mena dengan pasangannya.
2. Bersatu
atau berdampingan dengan suami/istri
Unsur
‘meninggalkan’, memungkinkan terjadi hidup yang saling berdampingan. Pasangan
yang tidak sanggup melepaskan ikatan dari orangtuaya akan sulit untuk
berdampingan atau bersatu dengan pasanganya. Sehingga ada beberapa aspek yang
tersirat didalamnya:
a)
Suami istri dipersatukan secara utuh dan mendalam oleh
Tuhan;
b)
Kesatuan mereka begitu erat sehingga tidak ada lagi
pihak ketiga;
c)
Perekat kesatuan mereka iala cinta kasih;
d)
Kedudukan suami/istri sederajat, tidak ada yang lebih
tinggi atau lebih rendah.
3. Menjadi
satu daging
Alkitab
memberikan bahwa proses meninggalkan orang tua dan hidup berdampingan dapat
dijalani oleh pasangan suami/istri barulah dapat hidup sedaging. Sehingga ada
beberapa aspek yang terkandung di dalam hidup menjadi satu daging, yaitu:
a)
Hubungan seks memungkinkan jika meninggalkan dan
berdampingan telah dijalani;
b)
Hubungan seks apabila tidak dilindungi kemah nikah dan
cinta kasih menadi hampa;
c)
Seks merupakan hubungan intim suami/istri;
d)
Seks menjadi ungkapan cinta yang mendalam;
Dasar pernikahan yang ideal menurut Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian
Lama, kisah ada dan hawa menjelaskan kepada kita bahwa ada dua hal yang menjadi
dasar pernikahan yang Allah tentukan kepada mereka, yang akan dijelaskan oleh
penulis, yaitu:
1) Monogami
Secara
khusus kitab Kejadian memaparkan kisah pernikahan pertama dalam sejarah hidup
manusia (Kej. 2:23-24; 1:27-28). Pernikahan menjadi cerita awal dan hal yang
fundamental, difasilitasi oleh pencipta alam semesta dan tidak ada campur
tangan manusia sedikitpun didalamnya.
Dasar pernikahan secara Monogami dijelaskan secara gramatikl, yaitu: ‘Monogami’ Adam dan Hawa (Kej. 2:24): “Therefore
shall a man leave his father and his mother, and shall cleave unto his wife:
and they shall be one flesh or
“דָחֶא רָשָׂבְל ּויָהְו ֹוּתְשִׁאְּב
קַבָדְו ֹוּמִא־תֶאְו ויִבָא־תֶא שׁיִא־בָזֲעַי ןֵּכ־לַע”
frasa unto his wife (נשׁים אשּׁה) dalam bentuk
gabungan preposisi dengan kata benda akhiran ganti tunggal maskulin (2:25;
3:8,17; his wife or your wife; 3:12, 13, 16, - Perempuan itu, : Sinf,
f, n3 or2, n).
Walter C. Kaiser menegaskan ‘one
flesh” dalam kejadian 2:24: “originaly what had been the ‘one flesh’ in his
husband and wife. The bond was to be permanent (a man is to ‘leave’ and
‘cleave’ to his wife, Gen. 2:24) it was also divinely inaugurated (‘God…
brought her the man, 2:22), for ‘… God himself, like the father of the bridge,
leads the woman to the man”[7]
2) Satu
untuk selamanya (Tidak ada Perceraian)
Kejadian
2:24, Allah mengatakan bahwa “… keduanya menjadi satu daging” menunjukkan atau
memberikan pengertian bahwa Allahlah yang mempersatukan mereka. Walaupun dalam
Perjanjian Lama masih ditemukan adanya perceraian, namun hal itu terjadi karena
ketegaran atau kekerasan hati umat Israel (Ulangan 24: 1-5) sehingga Nabi Musa
membeti izin untuk bercerai. Dalam Perjanjian Baru dapat dilihat bahwa Yesus
dengan tegas menolak adanya perceraian dikarenakan: ‘apa yang dipersatukan oleh
Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mark. 10:9), satu-satunya alasan
untuk bercerai menurut-Nya yaitu karena perbuatan dosa zinah.
[1] ENSIKLOPEDI
ALKITAB MASA KINI
[2]
Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa
Indonesia (Surabaya: Tim Reality, 2008).
[3] JURNAL
TEOLOGI Abdi Tuhan Injili Vol. I No. 2 – Mei 2013 (STT-ATI, 2013), 9
[4]
Dr. Robert P. Borrong, Etika Seksual Kontemporer
(Bandung: INK Media, 2006), 15-19.
[5]
Dr. Robert P. Borrong… 20-23
[6]
Tulus Tu’u, S.Th, Etika Dan Pernikahan Seksual (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,
2006), 48-50
[7]
Walter C. Kaiser, Toward Old Testament
Ethics (Grands Rapids: Zondervan Publishing house, 1983), 182.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar