Minggu, 10 Juli 2016

PERNIKAHAN DAN KELUARGA

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sejak zaman dahulu perkawinan merupakan sesuatu yang selalu dilaksanakan dalam masyarakat yang ada, bukan hanya di masyarakat Yahudi saja tetapi juga hal ini dilakukan bangsa-bangsa masyarakat di luar bangsa Yahudi.
Pernikahan adalah tahap kehidupan, yang didalamnya laki-laki dan perempuan boleh hidup bersama-sama dan menikmati seksual secara sah. Perzinahan dan persundalan adalah hubungan seksual yang tidak diakui oleh masyarakat sebagai suatu konstitusi pernikahan. Definisi ini memperlihatkan bahwa poligami dalam PL tidak dianggap salah, karena merupakan konstitusi pernikahan yang sah diakui oleh masyarakat, walaupun umumnya terbukti tidak bijaksana.[1]

Di dalam Perjanjian Lama, secara khususnya di dalam kejadian. Sejak awal penciptaan manusia Allah sendiri telah membentuk suatu konstitusi yaitu suatu pernikahan antara Adam dan Hawa, dimana pernikahan tersebut di bentuk dan diperintahkan oleh Allah agar mereka menjalin hubungan yang erat dan sah dalam suatu ikatan perkawinan agar mereka menjalankan kehidupan baru secara bersama-sama dalam sebuah keluarga. UU Perkawinan RI 1974 bab 1, pasal 1 menjelaskan bahwa “perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga dapat dilihat dengan jelas bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang sangat baik dan memiliki tujuan yang baik pula untuk mencapai suatu kebahagiaan.


Rumusan masalah
Melihat latar belakang yang ada, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut.?
1. Apa dasar perkawinan menurut PL.?
2. Bagaimana caranya membangun keluarga menurut PL.?
3. Bagaimana relevansinya bagi umat Kristen saat ini.?

Maksud dan Tujuan Penulisan
1.  Untuk mengetahui dasar Perkawinan menurut Perjanjian Lama.
2. Untuk mengetahui langkah-langkah atau aturan dalam membangun hubungan keluarga menurut Perjanjian Lama.
3. Untuk menentukan sikap yang seharusnya dilakukan orang percaya dalam membangun kehidupan keluarga.

BAB II
PEMBAHASAN

Pernikahan dan Keluarga
Perkawinan merupakan suatu hal yang berhubungan dengan pernikahan. Sedangkan keluarga berarti orang-orang yang menghuni suatu ruah, seisi rumah; bapak ibu berserta anaknya; satuan kekerabatan yang mendasar dalam masyarakat.[2]
Istilah nikah merupakan suatu perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami atau bersistri secara sah. Sedangkan pernikahan lebih menekankan makna hal perbuatan nikah dan upacaranya. Dalam perjanjian Lama secara khusus banyak dibicarakan mengenai pernikahan terutama Monogami dan Poligami. Mono dari kata Yunanai yang berarti satu, Poli berarti banyak sedangkan gamos memiliki arti ‘nikah’. Sehingga pada bagian ini penulis akan membahas dasar pernikahan Kristen menurut Perjanjian Lama (Pentateukh).[3]
Menurut etika Kristiani pernikahan berarti Internalisasi nilai-nilai Kristiani berdasarkan Alkitab dan tradisi Kristen tentang makna pernikahan. Tradisi Kristen yang dimaksudkan yaitu paham yang dimiliki oleh Protestan tentang perkawinan, bukan sebagai sakramen tetapi merupakan suatu ikatan rohaniah yang begitu erat antara pria dan wanita yang telah menjalin hubungan pernikahan.

Hakekat Pernikahan
Pernikahan merupakan persekutuan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, menurut tata penciptaan (Kej. 1:27; 2:22; 2:24-25). Pernikahan Kristen adalah sesuatu yang ‘suci’ karena:
Pernikahan Kristen menganut asas monogami;  Pernikahan menolak perkawinan homoseksual/lesbian karena bukan pernikahan yang Allah kehendaki, homosksual bekaitan dengan penyembahan berhala (Ul. 23:17-18); Pernikahan merupakan sesuatu yang suci sehingga tidak boleh dinodai oleh hubungan seksua dengan orang yang bukan pasangan suami/istri.

Tujuan Pernikahan
Pernikahan mempunyai tujuannya sendiri dan tujuan itu haruslah diperhatikan supaya orang tidak menikah hanya untuk memenuhi kebutuhan atau kewajiban kodrat/hukum alam saja, melainkan supaya menikah karena kasih karunia Allah, dengan kata lain untuk mencapai suatu kebahagiaan. Secara Teologis ‘kebahagiaan’ dipahami sebagai ‘syalom’ dimana terdapat kesejahteraan rohani, kedamaian, keharmonisan, dan cinta kasih; seperti yang terdapat dalam Mazmur 128, suatu kebahagiaan haruslah dimulai dengan sikap Takut akan Tuhan. Sehingga dilihat dari sisi Teologis ada 3 hal yang menjadi tujuan pernikahan, yaitu:
1)      Propogasi/prokreasi (kej. 1:28). Seorang yang menikah haruslah menyadari bahwa mereka mengemban tugas suci untuk melanjutkan karya Allah dala menciptakan generasi penerus;
2)      Unifikasi/kesatuan (Kej. 2:24). “kesatuan daging adalah kesatuan jiwa raga”. Unifikasi bukan hanya berhubungan dengan seks, tetapi menyatunya kedua insan secara eksklusif dalam segala hal. Kesatuan tersebut adalah kesatuan yang tidak menyimpan rahasia terhadap pasangan hidup masing-masing. Didalam kesatua pasangan diharapkan dapat menjadi dewasa karena mampu mencintai serta dicintai.
3)      Rekreasi/kesenangan (Ams. 5:18-19). Hubungan seksual merupakan hal yang penting, karena menjadi wujud dari kesatuan dan juga merupakan tugas prokreasi. Kesenangan tersebut harus diletakkan dalam hubungan batin/rohani, dimana satu terhadap yang lain saling percaya, saling bergantung dan saling menolong.[4]

Keluarga
      Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memahami tentan suatu kesatuan yang disebut sebagai keluarga yaitu:
1)      Hubungan suami istri
Perubahan atau penikatan hubungan suami istri dapat menimbulkan persoalan: masalah seksual, masalah kesehatan serta kebutuhan keluarga.
2)      Hubungan orang tua dan anak
Perhatian merupakan kebutuhan anak-anak yang paling primer (bukan materi). Sehingga perlu diketahui bahwa pendidikan utama terjadi dalam suatu ruang lingkup sederhana yaitu keluarga (Rumah Tangga), yang harus diwujudkan dalam bentuk kasih sayang, pelayanan dan perhatian kepada anak-anak.
3)      Kesejahteraan keluarga
Hal ini merupakan hal yang sangat penting. Kesejahteraan mencakup semua segi kehidupan dan menyangkut kualitas kehidupan keluarga. Kesejahteraan sangat tergantung pada sikap dalam mengelola kehidupan Rumah Tangga (Ams. 17:1).[5]

4)      Kehidupan sosial dan kehidupan rohani keluarga
Keluarga menjadi bagian terkecil dalam masyarakat. Oleh sebab itu, tidak mungkin keluarga menjadi eksklusif. Dalam kehidupan sosial, keluarga yang sehat adalah keluarga yang aktif dalam bermasyarakat. Demikian juga halnya dalam rangka pembinaan kehidupan rohani, keluarga haruslah aktif supaya ada penguatan kerohanian.
           
Pernikahan dan membangun keluarga menurut Perjanjian Lama
            Kejadian 2:24 menjelaskan bagaimana proses atau tata cara dalam membangun hubungan pernikahan dan keluarga. Sehingga melalui ayat tersebut ada tiga aspek yang sangat perlu untuk diperhatikan, yaitu:
1.      Meninggalkan orang tua
Aspek ini mengandung arti bahwa:
a)      Adanya kesediaan orang tua melepaskan anaknya agar bersatu dengan dengan suami/istrinya. Dalam artian bahwa orang tua melepaskan anaknya agar mereka mengurus rumah tangga mereka sendiri.
b)      Adanya kesanggupan seorang anak untuk meninggalkan orang tuanya. Ketika memutuskan untuk menikah seseorang harus mampu berkomitmen untuk melepaskan ketergantungan mereka dari orang tuanya.
c)      Haruslah diberkati dan disahkan secara hukum. Artinya bahwa mereka harus mensahkan pernikahan mereka secara hukum (Negara) dan adat.  Dengan adanya pengakuan secara hukum maka suami, istri dan anak-anaknya dilindungi secara undang dan juga pasangan tidak dapat bertindak secara semena-mena dengan pasangannya.

2.      Bersatu atau berdampingan dengan suami/istri
Unsur ‘meninggalkan’, memungkinkan terjadi hidup yang saling berdampingan. Pasangan yang tidak sanggup melepaskan ikatan dari orangtuaya akan sulit untuk berdampingan atau bersatu dengan pasanganya. Sehingga ada beberapa aspek yang tersirat didalamnya:
a)      Suami istri dipersatukan secara utuh dan mendalam oleh Tuhan;
b)      Kesatuan mereka begitu erat sehingga tidak ada lagi pihak ketiga;
c)      Perekat kesatuan mereka iala cinta kasih;
d)     Kedudukan suami/istri sederajat, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

3.      Menjadi satu daging
Alkitab memberikan bahwa proses meninggalkan orang tua dan hidup berdampingan dapat dijalani oleh pasangan suami/istri barulah dapat hidup sedaging. Sehingga ada beberapa aspek yang terkandung di dalam hidup menjadi satu daging, yaitu:
a)      Hubungan seks memungkinkan jika meninggalkan dan berdampingan telah dijalani;
b)      Hubungan seks apabila tidak dilindungi kemah nikah dan cinta kasih menadi hampa;
c)      Seks merupakan hubungan intim suami/istri;
d)     Seks menjadi ungkapan cinta yang mendalam;
e)      Menjadi sedaging berarti diantara suami istri tidak ada rahasia (terbuka dalam segala aspek).[6]

Dasar pernikahan yang ideal menurut Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama, kisah ada dan hawa menjelaskan kepada kita bahwa ada dua hal yang menjadi dasar pernikahan yang Allah tentukan kepada mereka, yang akan dijelaskan oleh penulis, yaitu:
1)      Monogami
Secara khusus kitab Kejadian memaparkan kisah pernikahan pertama dalam sejarah hidup manusia (Kej. 2:23-24; 1:27-28). Pernikahan menjadi cerita awal dan hal yang fundamental, difasilitasi oleh pencipta alam semesta dan tidak ada campur tangan manusia sedikitpun didalamnya.  Dasar pernikahan secara Monogami dijelaskan secara gramatikl, yaitu: ‘Monogami’ Adam dan Hawa (Kej. 2:24): “Therefore shall a man leave his father and his mother, and shall cleave unto his wife: and they shall be one flesh or  
דָחֶא רָשָׂבְל ּויָהְו ֹוּתְשִׁאְּב קַבָדְו ֹוּמִא־תֶאְו ויִבָא־תֶא יִא־בָזֲעַי ןֵּכ־לַע
frasa unto his wife (נשׁים    אשּׁה) dalam bentuk gabungan preposisi dengan kata benda akhiran ganti tunggal maskulin (2:25; 3:8,17; his wife or your wife; 3:12, 13, 16, - Perempuan itu, : Sinf, f, n3 or2, n).
Walter C. Kaiser menegaskan ‘one flesh” dalam kejadian 2:24: “originaly what had been the ‘one flesh’ in his husband and wife. The bond was to be permanent (a man is to ‘leave’ and ‘cleave’ to his wife, Gen. 2:24) it was also divinely inaugurated (‘God… brought her the man, 2:22), for ‘… God himself, like the father of the bridge, leads the woman to the man”[7]
2)      Satu untuk selamanya (Tidak ada Perceraian)
Kejadian 2:24, Allah mengatakan bahwa “… keduanya menjadi satu daging” menunjukkan atau memberikan pengertian bahwa Allahlah yang mempersatukan mereka. Walaupun dalam Perjanjian Lama masih ditemukan adanya perceraian, namun hal itu terjadi karena ketegaran atau kekerasan hati umat Israel (Ulangan 24: 1-5) sehingga Nabi Musa membeti izin untuk bercerai. Dalam Perjanjian Baru dapat dilihat bahwa Yesus dengan tegas menolak adanya perceraian dikarenakan: ‘apa yang dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mark. 10:9), satu-satunya alasan untuk bercerai menurut-Nya yaitu karena perbuatan dosa zinah.



[1] ENSIKLOPEDI ALKITAB MASA KINI
[2] Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia (Surabaya: Tim Reality, 2008).
[3] JURNAL TEOLOGI Abdi Tuhan Injili Vol. I No. 2 – Mei 2013 (STT-ATI, 2013), 9
[4] Dr. Robert P. Borrong, Etika Seksual Kontemporer (Bandung: INK Media, 2006), 15-19.
[5] Dr. Robert P. Borrong… 20-23
[6] Tulus Tu’u, S.Th, Etika Dan Pernikahan Seksual (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2006), 48-50
[7] Walter C. Kaiser, Toward Old Testament Ethics (Grands Rapids: Zondervan Publishing house, 1983), 182.
SUNAT

      Sejarah Sunat
Menurut Perjanjian Lama (PL) sebagai informasi tertua, mengungkapkan bahwa sunat sudah dilakukan oleh bangsa kuno, termasuk bangsa Israel. Bangsa-bangsa Afrika, Australia, Amerika, dan Astronesia pun melakukan hal yang sama, telebih bangsa-bangsa di Timur Tengah, kecuali bangsa Asyur, Filistin, dan Babel (Tes 9:25-26); Hak 14:3; 15:18; 1 Sam 14:6, 36, 2 Sam 1:20, dll).[1]
Dalam suatu suku bangsa tertentu juga dikenal sunat untuk wanita (female genital mutilation)[2] Bahkan WHO (World Health Organization) memperkenalkan prosedur sunat untuk perempuan yang antara lain berupa clitoridecmy: penghilangan sebagian atau seluruh klistoris, excisior: Penghilangan sebagian atau seluruh klistoris dan labiominora, infibulation: penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar genital dengan menjahit sebagian saluran kencing dan vagina dan unclissified : semua prosedur female genital mutilation (FGM) lainnya yang bersifat membahayakan. Namun, bangsa Israel hanya mengenal dan melakukan penyunatan laki-laki.
Setiap bangsa yang melaksanakan sunat memiliki makna yang berbeda-beda. Dalam masyarakat Israel terdapat dua kata untuk makna sunat. Yaitu “Khatan”  dan “Mul”. Pertama, kata khatan ( yang khusus digunakan dalam hubungannya dengan perkawinan (sunat sebelum kawin). Kedua, kata mul atau malal (Kej. 17:23, 26) yang dipakai dalam hubungannya dengan sunat pada umumnya.
Makna mul untuk pertama kali dimunculkan oleh Nabi Yeremia (Yer 4:4) pada saat ia berbicara sunat hati. Hal itu berarti bahwa sunat tidak cukup atau dipararelkan dengan sunat kulup tetapi harus sunat hati. Demikian pula dengan sunat telinga (Yer 6:10). Dengan kata lain, dalam hubungannya dengan Yahweh dan Israel, makna sunat bukan hanya semata-mata terletak pada sunat kulup tetapi pada sunat hati dan sunat telinga.
Makna sunat kulup di kalangan orang Israil makin mendapat bentuk rohani yang tegas ketika mereka berada di pembungan Babel, saat mereka bertemu dengan orang-orang Babel yang tidak bersunat kulup pada abad 5 dan 6. Sunat kulup ditetapkan sebagai tanda oreang-orang Israel yang mengikat perjanjian dengan Yahweh. Jika sunat kulup disebut sunat luar, dan sunat hati dan sunat telinga seperti yang diajarkan Nabi Yeremia disebut sunat hati, sampai akhir zaman pembuangan, kedua macam sunat tersebut masih terus merupakan pergumulan hidup dan berlaku di tengah-tengah bangsa Israel.[3]
Gereja mula-mula mewarisi dua macam sunat tersebut. Yohanes Pembaptis (Luk 1:59), Yesus (Luk 2:21) dan Paulus (Pil 3:5) mengalami sunat luar (sunat kulup), demikian pula semua orang Yahudi Kristen (Kis 10:45; 11:2; Gal 2:12). Di pihak lain, orang Kristen baru nonYahudi tidak melakukan sunat luar ini. Bagi mereka, melakukan sunat dalam saja sudah cukup. Paulus termasuk yang mempertahankan sunat dalam. Dalam konteks kebudayaan
Geertz, dalam The Religion of Java (1960) dalam studinya di Mojokuto (Pare, Kediri, Jawa Timur) mengatakan bahwa ritual sunatan atau khitanan hanya dilakukan bagi laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan dilakukan upacara kepanggihan atau perkawinan. Geertz juga menyimpulkan adanya percampuran antara unsur Jawa dan Islam. Ritual sunatan atau khitanan tidak hanya bermakna menjelang dewasa, tetapi juga ritual Islami. Sunatan merupakan rangkaian kegiatan ritual siklus selamatan (bahasa Jawa slamet yang artinya selamat) dengan berdoa diiringi kegiatan makan. Karena masyarakat jawa mengganggap masa pupertas sebagai saat-saat kritis dalam kehidupan manusia, maka penyelenggaraan slametan dipercayai mampu mendatangkan ketenangan dan keselamatan.[4] Kesimpulan Geertz ini tentu saja kurang disetujui oleh memeluk Kristen karena berdimensi budaya, bukan berdimensi Alkitab.

Metode sunat
Ada beberapa cara atau metode yang digunakan dalam melakukan sunat, yaitu:
1)      Dorsumsisi merupakan  metode konvensional yang dilakukan dengan mengiris kulup melingkar hingga terlepas menggunakan gunting atau pisah bedah. Proses ini umumnya dilakukan pada anak dan orang dewasa dengan metode bius lokal;
2)      Laser ( electric cauter) merupakan Pemotongan kulit kulup penis dilakukan dengan elemen panas dari kawat atau logam yang dialiri listrik;
3)      Klem merupakan tabung plastik khusus dengan ukuran berbeda-beda sesuai ukuran penis. Kulit kulup dipotong melingkar dengan pisau bedah setelah klem terpasang pada penis.[5]

Tujuan Sunat
           Jika melihat di dalam Alkitab ada beberapa tujuan dari bangsa Israel menerima/melakukan sunat, yaitu:
1)      Sebagai suatu tanda perjajian (Kej. 17; Kis. 7:8);
2)      Sebagai tanda menjadi milik Yahwe atau tanda menjadi anggota persekutuan agama Isrel. (Kel 12:48)
3)      Tanda iman (Roma. 4:11);
4)      Untuk membedakan bangsa Israel dari bangsa-bangsa lain (Hak. 14:3; 1 Sam. 14:6; 2 Sam. 1:20).
Sedangkan di dalam dunia kedokteran ada beberapa manfaat dari sunat yang dilakukan, yaitu:
1)      Mengurangi resiko tertular penyakit seksual, seperti: HPV, herpes, sifilis serta penyakit seksual lainnya;
2)      Mencegah terjadinya penyakit penis, seperti peradangan pada kepala atau kulup penis yang disebut fimosis, yaitu kondisi saat kulup penis sulit ditarik;
3)      Mengurangi resiko infeksi saluran kemih yang merujuk kepada masalah ginjal;
4)      Berkurangnya resiko kanker penis;
5)      Mengurangi risiko kanker serviks pada pasangan;
6)      Menjaga kesehatan penis.
7)      Ada penyakit yang memerlukan sunat untuk menyembuhkannya, seperti infeksi saluran kemih, parafimosis, balanitis.[6]

      Sikap atau tanggapan orang Kristen mengenai Sunat
Sebagai orang Kristen sunat  secara jasmani tidak diharuskan tetapi boleh dilakukan untuk alasan kesehatan, namun yang diajarkan atau yang Allah inginkan yaitu suatu perubahan dari dalam (Rm. 2:25, 29), sebab jika kita percaya kepada Allah maka sesungguhnya kita telah disunatkan di dalam-Nya (Flp. 3:3; Kol. 2:11).



[1] Wismoyoadi, Wahono. S. Sunat dalam Akitab. (Yogyakarta: Buletoin LPK No 97 GKI dan
GKJ Jawa Tengah, 1978). Hal 3.
[2] Dyah, Putranti, Basicila, et all. Male and Female Genital Cutting Among Javanese and
adurese. (Yogyakarta: Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University and
Australian Nasional University) Hal, 1.
[3] Wahono, Wismoady S, Sunat di Dalam Alkitab. (Yogyakarta: Buletin LPK GKJ dan GKI
Jawa Tengah). Hal 4.
[4] Geerz, Clifford, The Religion of Java.Glencoe: Free Press. 1960.
 MASALAH GENDER DALAM PERJANJIAN LAMA

A.     PENDAHULUAN
Orang Israel pada zaman Alkitab menganggap kaum pria lebih penting daripada wanita. Seorang ayah atau pria tertua dalam keluarga ikut dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi keluarga, sedangkan wanita hanya sedikit sekali bersuara. Kehidupan yang Patriakhal (berpusat pada ayah) menetapkan cara tersendiri dalam memperlakukan wanita Israel. Wanita dibesarkan haruslah mematuhi ayahnya, demikian juga ketika menikah harus mentaati suaminya. Dalam Imamat 27:1-8, mengatakan bahwa nilai seorang wanita hanyalah nilai separuh dari laki-laki saja. Sehingga dalam keluarga Israel anak perempuan tidak terlalu disenangi, hanya dididik mengurus keluarga, membesarkan anak-anak, menjadi penolong suaminya. Jika wanita tidak dapat melahirkan anak, ia dianggap sebagai orang yang dikutuk (bdk. Kej. 30:1-2,22; 1 Sam. 1:1-8).

B.     PANDANGAN MENGENAI WANITA[1]
1)      PANDANGAN ALLAH TENTANG WANITA
Diakhir pasal pertama kitab Kejadian Allah menciptaka manusia (bdk.Kej. 1:27-28). Yang menunjukkan mengenai wanita: pertama, pria dan wanita diciptakan menurut gambar-Nya (wanita tidak diciptakan lebih rendah dari pria); kedua, wanita seharusnya juga berkuasa atas ciptaan. Pria dan wanita sama-sama memiliki wewenang. Allah menciptakan wanita menjadi penolong bagi pria (Kej. 2:18,21). Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, hal itu menunjukkan betapa pentingnya wanita bagi pria (wanita bagian wujud pria, melengkapi pria). Namun, mereka melakukan dosa (Kej.3:16). Rasul paulus menasehati para isteri Kristen (Ef. 5:22) walaupun demikian wanita tidaklah lebih rendah daripada pria, tetapi wanita tetap membiarkan pria/suaminya memimpin. Paulus meminta ketundukan dari kedua belah pihak (Ef. 5:21; bdk. Gal. 3:8).

2)      KEDUDUKAN WANITA DI ISRAEL
Kedudukan wanita secara hukum di Israel lebih rendah jika dibandingkan dengan pria (Contohnya: Ul. 24:1-4; Bil. 5:11-31). Sedangkan kaum pria lebih diistimewakan, pria dapat mengadakan nazar yang mengikat dirinya sedangkan nazar wanita dapat dibatalkan oleh ayahnya atau suaminya apabila ia sudah menikah (Bil. 30:1-15). Wanita dapat dijual oleh ayahnya (kel. 21:7), tetapi setelah enam tahun ia tidak dapat dibebaskan sedangkan pria dapat dibebaskan (Im. 25:40-41).  Walaupun demikian tetap ada aturan yang menganjurkan supaya wanita diperlakukan dengan baik (kel. 20:12; Ul. 21:18-21; Ul. 22:22; Kel. 21:10; Ul. 21:14; Ul. 22:25-27).

3)      KEDUDUKAN WANITA DALAM IBADAH
Wanita merupakan anggota “keluarga beriman” sehingga diperbolehkan ikut serta dalam ibadah. Pria diperintahkan agar dalam setahun harus menghadap/tampil di hadapan Tuhan sebanyak tiga kali (Ul. 29:10; Neh. 8:2; Yl. 2:13, 15-16), namun kaum wanita boleh ikut serta tetapi tidak diharuskan karena berhubungan dengan tugas mereka sebagai istri dan ibu. Sehingga dalam mempersembahkan korban hanya suami atau ayah yang berhak mempersembahkan korban (Im. 1:2), tetapi wanita boleh ikut hadir (Ul. 16:13-14; Hak. 21:19-21; II Raj. 4:23). Wanita diperbolehkan mempersembahkan korban setelah kelahiran seorang anak (Im. 12:6).

      KESIMPULAN
Jadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Israel lebih mengutamakan pria/suami dibandingkan dengan wanita/istri, wanita sangat dibatasi dalam berbagai hal, sebab mereka (wanita) dianggap sebagai seorang yang kedudukannya lebih dominan di rumah dibandingkan mengikuti berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pria.


DAFTAR PUSTAKA
-         J.I. Packer, Merill C. Tenney dan William White, Jr, Ensiklopedi Fakta Alkitab (Jakarta: Gandum Mas, 2004).


[1] J.I. Packer, Merill C. Tenney dan William White, Jr, Ensiklopedi Fakta Alkitab (Jakarta: Gandum Mas, 2004). Hal, 867-872